16 Juli 2010

Rapergub PRT, Langkah Progresif

Agustus Bakal Diundangkan


JOGJA - Kepala Biro Hukum Setprov DIJ Moedji Rahardjo SH MH mengapresiasi setiap masukan masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Gubernur Pekerja Rumah Tangga (Rapergub PRT). Sebelum diundangkan, pemprov memerlukan banyak masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

’’Tentu kami mengucapkan terima kasih. Semakin banyak masukan semakin baik. Semua akan kami perhatikan sebagai pertimbangan,’’ ungkap Moedji saat dihubungi di kantornya kemarin (15/7).

Secara tersirat Moedji mengatakan tidak akan cepat-cepat mengundangkan Rapergub PRT itu. Pertimbangannya, Biro Hukum masih akan menggelar rapat koordinasi teknis lanjutan dengan mengundang tim perumus maupun mendengarkan respon dari kabupaten dan kota se-DIJ.

Tim perumus yang terlibat aktif menyusun Rapergub PRT antara lain Wakil Ketua Umum DPP Peradi Achiel Suyanto SH MBA, Direktur LBH Independen Budi Santoso SH LLM, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Murti Sari W SH Mhum, pakar hukum FH UII Ni’matul Huda, dan Rusli Muhammad serta beberapa aktivis LSM.

’’Berbagai masukan akan kami godok ulang untuk penyempurnaan,’’ kata mantan Sekretaris Bawasda DIJ ini.

Moedji menambahkan, Rapergub PRT itu akan diundangkan pada Agustus. Tapi, rencana itu bisa berubah tergantung perkembangan ke depan. Ia berharap sebelum diundangkan, rapergub itu harus benar-benar matang dan telah mengakomodasi berbagai masukan dari masyarakat.

Menyingggung pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPRD DIJ Putut Wiryawan yang mempertanyakan keberadaan abdi dalem keraton, Moedji memastikan telah mengakomodasinya.
Menurut pejabat yang cukup lama bertugas di lingkungan Dinas Pendidikan ini masalah abdi dalem telah tercantum dalam naskah akademik.

Moedji menyitir pidato Sekprov DIJ Tri Harjun Ismaji yang dibacakan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIJ Munawaroh terkait filosofi ngenger. ’’Abdi dalam itu kan semacam orang ngenger di masa lalu,’’ tuturnya.

Dengan demikian, soal abdi dalem sejak awal telah masuk dalam pemikiran tim perumus. ’’Jadi sudah nggak ada masalah,’’ tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Moedji juga mengungkapkan kesiapannya bila diminta menyampaikan paparan soal Rapergub PRT di depan Komisi A DPRD DIJ. Begitu pula bila diundang Badan Legislasi Daerah (Balegda) untuk menjelaskan materi Rapergub PRT tersebut. ’’Kalau diundang ya kami siap,’’ katanya.

Terpisah, Koordinator Divisi Advokasi Rumpun Tjut Nyak Dien (RTND) Buyung Ridwan Tanjung menilai, kebijakan pemprov merumuskan Rapergub PRT merupakan langkah maju. RTND selama ini termasuk salah satu LSM yang getol dan giat mengawal isu PRT ini. ’’Itu kebijakan progresif,’’ puji Buyung.

Bila kelak Pergub PRT diundangkan, bakal menjadi peraturan pertama di Indonesia yang mengakui keberadaan PRT. Profesi PRT diakui secara hukum sebagai pekerja.

Sampai sekarang pemerintah pusat maupun daerah lain belum ada yang membuat peraturan soal PRT. DIJ akan tercatat sebagai bagian dari 78 negara di dunia yang telah mengundangkan aturan soal PRT. Bahkan rencana pemerintah dan DPR RI menerbitkan UU tentang PRT sampai sekarang tak ada kejelasan.

Oleh karena itu, Buyung, minta agar Pergub PRT itu segera disahkan. Alasannya, RTND bersama berbagai elemen lain telah berjuang mendorong lahirnya aturan tersebut sejak 10 tahun silam. ’’Lebih cepat diundangkan lebih bagus,’’ harapnya.

Disinggung soal materi Rapergub PRT, Buyung mengakui, 80 persen aspirasi yang diperjuangkan RTND dan berbagai pegiat LSM lainnya telah diakomodasi. Di antaranya, soal pengakuan PRT sebagai pekerja seperti diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Juga adanya aturan yang mengizinkan PRT mendirikan serikat PRT. ’’Kami juga menyambut baik adanya jaminan kesehatan bagi PRT,’’ ulasnya.

Mantan Ketua DPRD Kota Jogja Arif Noor Hartanto menyatakan, DPRD Kota Periode 2004-2009 pernah menetapkan Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Salah satu pasal dari perda itu yakni pasal 37 mengatur soal PRT. Namun dalam perkembangannya pasal tersebut dievaluasi oleh gubernur.
’’Kalau sekarang gubernur hendak membuat pergub ya bagus karena itu yang ditunggu masyarakat,’’ ungkap Inung sapaan akrabnya. (kus)

sumber: http://www.radarjogja.co.id/berita/metropolis/9087-rapergub-prt-langkah-progresif.html

15 Juli 2010

Pemprov Diminta Tak Buru-Buru

Rapergub PRT Masih Perlu Pendalaman


JOGJA - Pemprov DIJ diimbau tidak buru-buru mengundangkan Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub) tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Alasannya, rapergub itu masih memerlukan klarifikasi terkait sejumlah hal.

’’Sebaiknya perlu ada pendalaman lagi agar rapergub itu benar-benar matang,’’ saran Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPRD DIJ Putut Wiryawan kemarin (14/7).

Tentang beberapa hal yang membutuhkan klarifikasi itu, Putut mencontohkan keberadaan abdi dalem keraton. Menurut dia, secara faktual keberadaan abdi dalem itu membantu rumah tangga keraton. Sebaliknya, secara kultural pengabdian mereka bukan berorientasi mengejar materi. Orientasi semacam itu juga banyak dilakukan mereka yang bekerja di kediaman pangeran keraton atau bangsawan.

Setahu Putut, mereka bekerja secara penuh tanpa mengharapkan penghasilan dengan nilai tertentu.
Karena itu, Putut mempertanyakan apakah eksistensi abdi dalem itu juga sudah diakomodasi dalam rapergub itu. ’’Perlu ada klausul yang jelas,’’ pintanya.

Politikus yang berlatar belakang jurnalis itu menegaskan, sejak awal dia mengapresiasi penyusunan rapergub tersebut. Ia sepakat dengan semangat rapergub yang ingin memberikan perlindungan hukum bagi PRT. Hanya, mengingat rapergub itu memuat materi yang siftanya kompleks, ia berharap pemprov tidak harus cepat-cepat mengesahkan karena memerlukan diskusi lebih panjang.

Ayah tiga anak ini juga mengkritisi munculnya pasal soal serikat pekerja rumah tangga. Dengan adanya serikat pekerja itu, maka hubungan pemberi kerja dengan PRT tidak lagi bisa dipandang secara kekeluargaan. Namun seakan masuk wilayah industrial.
Sebab, serikat pekerja dalam hubungan industrial kerap dilibatkan dalam pembahasan tripartit saat muncul sengketa ketenagakerjaan. Lantaran masuk dalam wilayah tripartit, penyelesaian sengketa ketenagakerjaan punya aturan dan metode khusus.

Sebaliknya dalam rapergub itu, perselisihan antara pemberi kerja dengan PRT diadakan secara musyawarah mufakat. Bila tak tercapai, dapat ditempuh lewat jalur mediasi dengan mediator pengurus RT, RW atau didampingi serikat pekerja rumah tangga.

Sekretaris Komisi A Arif Noor Hartanto berjanji segera memanggil Kepala Biro Hukum Setprov DIJ Moedji Rahardjo SH MH untuk memberikan paparan untuk mengetahui rapergub tersebut. Terutama terkait proses penyusunannya. ’’Kami tidak akan menyentuh ke materi atau isi rapergub karena itu wilayah kewenangan Badan Legislasi Daerah (Balegda),’’ katanya.

Inung, demikian ia akrab disapa, berharap Balegda DPRD DIJ melakukan pengawasan terhadap rapergub tersebut. Menurut Inung, Balegda memiliki tugas mengawasi semua produk hukum pemprov baik perda maupun pergub.

Soal pengawasan, ia berharap Balegda turun tangan sebelum rapergub itu diundangkan. ’’Ini supaya pengawasan dewan tak terlambat sekaligus antisipasi sebelum ada timbul masalah,’’ ucap wakil ketua FPAN ini.

Di pihak lain, mantan ketua DPRD Kota Jogja itu menangkap aspirasi berbagai kalangan, termasuk kalangan LSM yang berharap aturan soal PRT segera lahir di DIJ. Kader PAN ini ingin agar proses pengundangan rapergub tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

Anggota Komisi D Esti Wijayati menghargai kehati-hatian gubernur sebelum mengundangkan Rapergub PRT dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan, termasuk melibatkan kabupaten dan kota. Karena rapergub mengatur adanya PRT di bawah umur, Esti ingin pemprov mengawasi secara sungguh-sungguh.

Meski menjadi PRT, mereka yang masih di bawah umur harus tetap mendapatkan jaminan sekolah secara penuh. Pendek kata, mereka yang menjadi PRT harus tetap sekolah sesuai program wajib belajar 9 tahun.
’’Jadi kalaupun bekerja dilakukan setelah jam belajar di sekolah, pengawasannya harus ketat,’’ pinta kader PDIP ini. (kus)

sumber: http://www.radarjogja.co.id/berita/metropolis/9043-pemprov-diminta-tak-buru-buru-.html

14 Juli 2010

Lindungi PRT, Terbitkan Pergub

Jadi Percontohan Pertama di Indonesia

JOGJA - Pemprov DIJ bakal menjadi provinsi pertama yang menerbitkan peraturan gubernur (pergub) tentang pekerja rumah tangga (PRT). Proses penerbitannya juga bakal menjadi percontohan karena satu-satunya pergub yang penyusunannya diawali dengan naskah akademik.

’’Ini mungkin belum pernah ada dan bisa jadi pilot project. Pergub dilengkapi naskah akademik. Sekelas peraturan daerah saja penyusunannya kadang tak ada naskah akademiknya,’’ Direktur LBH Independen Budi Santoso SH, LLM yang turut menjadi tim perumus Pergub tentang PRT saat menyampaikan paparan di depan rapat koordinasi teknis di Gedong Pracimosono Kepatihan, kemarin (13/7).

BS, sapaan akrabnya menjelaskan, tujuan dikeluarkannya pergub itu untuk melindungi secara hukum sekaligus mengapresiasi eksistensi PRT. Pergub juga mengatur hubungan kerja yang harmonis, produktif serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan dan kekeluargaan. ’’Pergub juga memberikan pekerjaan kerumahtanggaan punya nilai ekonomis dan sosiologis,’’ terangnya.

Ke depan, bila pergub tersebut diundangkan, di DIJ tak lagi dikenal istilah pembantu dan majikan. Dalam pergub itu, yang dikenal adalah PRT. Sedangkan majikan atau pengguna jasa dihapus dan diganti dengan pemberi kerja.

’’PRT adalah orang yang bekerja pada rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah. Sedangkan pemberi kerja merupakan orang yang mempekerjakan PRT untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan,’’ beber BS yang tampil berbicara dengan Wakil Ketua Umum DPP Ikadin Achiel Suyanto SH MBA dan dipandu aktivis perempuan Sari Murti W SH, Mhum.

Hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja diwujudkan dalam bentuk kesepakatan perjanjian kerja. ’’Perjanjian kerja dapat dituangkan secara tertulis dan tidak tertulis,’’ jelasnya.

BS yang pernah menjabat wakil ketua Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) DIJ 2005-2008 itu juga menegaskan, PRT berbeda dengan baby sitter dan perawat orang tua atau pramurukti. PRT juga berbeda dengan pekerja rumahan. Menurut BS, pekerja rumahan antara lain mereka yang bekerja pada usaha rumah tangga atau usaha pembuatan roti maupun sirup. ’’Nantinya pekerja rumahan juga akan diatur dalam pergub tersendiri,’’ lanjutnya.

Mengomentari telah selesainya penyusunan Rapergub PRT itu, anggota Komisi D DPRD DIJ Esti Wijayati menyambut positif. Namun ia minta agar pasal dalam pergub itu ditambah dengan adanya jaminan kesehatan dan jaminan pendidikan bagi PRT yang masih di bawah umur.

’’Jaminan itu harus tegas dituangkan di pergub. Bagi PRT di bawah umur dan masih sekolah harus tetap diberi kesempatan belajar sesuai program wajib belajar 9 tahun,’’ katanya. Jaminan itu diperlukan karena program wajib belajar memberikan jaminan bagi warga negara menempuh pendidikan secara gratis yang biayanya dijamin negara.

Kepala Biro Hukum Setprov DIJ Moedji Rahardjo SH, MH mengatakan, pembahasan Rapergub PRT itu telah dilakukan hingga empat kali perubahan. Biro Hukum menyiapkan draf itu selama kurang lebih tiga bulan.

Selain BS, Achiel, dan Sari Murti, beberapa pakar hukum seperti Ni’matul Huda SH, MH dan Rusli Muhammad SH MHum serta beberapa aktivis dilibatkan sebagai tim perumus. ’’Bila telah disepakati, pergub itu secepatnya akan segera diundangkan,’’ ujarnya.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi DIJ Siti Munawaroh mengatakan, hingga pertengahan 2010 ini, jumlah PRT se-DIJ mencapai kurang lebih 34 ribu orang.
Rinciannya, 17 ribu bekerja di Sleman, 7 ribu di Kota Jogja, 7 ribu di Bantul, 2.300 di Kulonprogo, dan 1.500 di Gunungkidul.

Pekerjaan PRT, ujar Munawaroh merupakan profesi yang telah berusia tua. ’’Dulu dikenal istilah ngenger,’’ ucapnya yang datang mewakili Sekprov DIJ Tri Harjun Ismaji.

Karena pekerjaan bersifat domestik, profesi PRT rentan mengalami kekerasan fisik, psikis hingga seksual. Selama ini pola hubungan kerja PRT
tak diatur dengan perjanjian tertulis layaknya pekerjaan sektor formal. ’’Pola hubungan kerja lebih pada semangat kekeluargaan dan tepo sliro,’’ ujarnya. (kus)


sumber: http://www.radarjogja.co.id/berita/metropolis/9010-lindungi-prt-terbitkan-pergub.html

01 Mei 2010

HARI BURUH INTERNASIONAL

Pernyataan Sikap
Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY) dan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)
Aksi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Menuntut Status
PRT = PEKERJA

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu : Pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja, memberikan perlindungan dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Akan tetapi, saat ini lapangan pekerjaan sangatlah sulit didapat. Hal ini yang melatarbelakangi tumbuhnya sektor informal. Data Sakernas 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (65,40 persen) di Indonesia tahun 1998 berusaha di sektor informal; sisanya bekerja di sektor formal (34,60 persen). Menurunnya jumlah pekerja formal (Data BPS: 2000 sekitar 34,8 % menjadi 32,2 % tahun 2001) berbanding terbalik dengan sektor informal (dari 65 % menjadi 68 %). Dan akan semakin besar jika pertumbuhan ekonomi tidak cukup signifikan. Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kontemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Di Propinsi DIY sendiri ada kurang lebih 37 ribu PRT yang artinya 1,5 % total PRT di Indonesia berada di Yogyakarta. Ini juga berarti bahwa pemerintah DIY tidak bisa berpangku tangan menunggu regulasi Nasional untuk melindungi PRT.

1 Mei atau Mayday diperingati sebagai Hari Buruh Internasional yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Keikutsertaan Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY) yang merupakan organisasi payung yang beranggotakan 19 operata (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) yang tersebar di Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta dan Gunung Kidul pada hari buruh ini bukan tanpa sebab. Meski dari segi hukum, keberadaan PRT sebagai pekerja tidaklah diakui oleh negara. Negara baik di tingkat pusat maupun daerah masih saja disibukkan dengan keraguan bahwa PRT adalah sebagaimana pekerja lainnya sudah seharusnya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Profesi pekerja rumah tangga adalah profesi yang berhak mendapatkan upah layak dan bentuk perlindungan hukum yang setara dengan buruh atau pekerja di sektor informal lain, karenanya tak ada alasan bagi pemerintah selaku pelindung warganegara dan majikan/pengguna jasa sebagai mitra kerja untuk tak mengakui PRT sama dengan pekerja melalui pemenuhan hak-hak dan perlindungan hukum yang setara.

Upaya KOY dalam perjuangan guna memperoleh ketegasan payung hukum atau regulasi yang sama yang selama satu dekade ini tertatih dan cenderung diskriminatif. Oleh karenanya, inisiasi Gubernur untuk segera merumuskan Peraturan Gubernur (PERGUB) tentang PRT pun sangat disambut baik dan didukung oleh KOY. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam PERGUB tersebut hendaknya sesuai dengan standard Hak Asasi Manusia Internasional. PERGUB haruslah menjadi kepanjangan tangan penghormatan dan perlindungan hak –hak PRT baik sebagai pekerja maupun sebagai manusia.


Oleh karena itu pada hari Buruh Internasional ini, kami, Kongres Operata Yogyakarta dan Rumpun Tjoet Njak Dien, menyerukan:
1. Kepada masyarakat: Bahwa PRT adalah Pekerja Rumah Tangga, bukan Pembantu Rumah Tangga. Dengan demikian, perlindungan kepada PRT sebagaimana pekerja lainnya mutlak diterapkan kepada kami.
2. Kepada Negara: Berikan perlindungan hukum yang jelas bagi PRT dengan segera mensahkan RUU PRT di tingkat nasional.
3. Kepada Gubernur DIY: Realisasikan segera Peraturan Gubernur (Pergub) tentang PRT yang mengakomodir kepentingan PRT dengan seadil-adilnya dan sesuai dengan standard HAM yang diakui secara Internasional.


Hidup Perempuan !!!
Hidup Pekerja Rumah Tangga !!!

Yogyakarta, 1 Mei 2010



Sri Murtini
Sekjend KOY



Yuni Satya Rahayu
Ketua Badan Pelaksana RTND

21 April 2010

Press Release Hari Kartini

Hidup Perempuan!

Hidup Pekerja Rumah Tangga!

Perempuan di zaman dahulu tak memiliki kebebasan seperti perempuan zaman sekarang. Kebebasan disini dalam artian perempuan pada waktu itu hanya menjadi jenis kelamin kelas dua di bawah laki-laki yang tugasnya hanya mengerjakan pekerjaan di rumah dan mengurus anak-anak. Larangan tersebut akibat budaya patriarki yang menjadi tolok ukur leluhur sehingga perempuan yang keluar dari aturan yang telah mendarah daging itu akan dijuluki perempuan tidak benar. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya perjuangan Kartini di masa lalu membawa perempuan memiliki kebebasan beraktifitas. Tanpa jasa Kartini perempuan tidak akan mempunyai hak untuk bersekolah, apalagi berorganisasi serta beraktivitas sesuai dengan profesi masing-masing layaknya kiprah perempuan sekarang dalam segala lini kehiupan.

Perjuangan kartini adalah sebuah proses panjang dan potret perjuangan perempuan demi memenuhi hak-haknya. Namun perjuangan Kartini tak boleh serta merta terhenti sampai disini. Hal tersebut dikarenakan perempuan masih dan tetap saja menerima kekerasan dan ketidakadilan.

Di zaman sekarang, perempuan bekerja adalah sebuah hal yang lumrah. Faktor pendorongnya tentu saja akibat tuntutan ekonomi yang begitu tinggi. Dan pekerjaan yang kerap dipilih adalah sebagai PRT karena mereka meyakini pekerjaan sebagai PRT tak memerlukan pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Siapa saja bisa berprofesi sebagai PRT. Namun hal tersebut lah yang kemudian menjadikan pekerjaan sebagai PRT selalu dipandang sebelah mata, tidak dihargai, gajinya rendah dan belum adanya perlindungan hukum, lebih-lebih jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Bahkan parahnya, mayoritas masyarakat masih memandang PRT sebagai Pembantu Rumah Tangga, batur atau rewang kalau dalam bahasa jawanya. Padahal jika ditinjau dari segi pekerjaan dan gaji yang ia terima, PRT harusnya sama saja dengan para pekerja lain. Tak mudah menghapus stigma masyarakat yang masih menganggap PRT adalah pembantu dan kemudian menggantinya dengan menanamkan bahwa PRT adalah Pekerja Rumah Tangga. Oleh karenanya, Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi payung yang membawahi PRT yang tersebar di Kota, Kabupaten bahkan Gunung Kidul sebagai daerah sending area PRT di Yogyakarta, berusaha merubah stigma tersebut dengan mensosialisasikan PRT = Pekerja Rumah Tangga kepada segenap masyarakat, pengguna jasa khususnya, agar hak-hak PRT dapat dipenuhi selayaknya pekerja lain. Sama halnya ketika Kartini berjuang keras untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Meski mendapat cemoohan namun Kartini tak pernah menyerah, seperti halnya KOY yang meyakini jika tak mengenal kata menyerah dengan menyatu dalam sebuah wadah yang secara bersama-sama menyuarakan apa yang selama ini tak berani untuk diungkapkan secara individual maka cita-cita menjadi setara antara PRT dengan para pekerja akan tercapai.

Banyak kekerasan yang dialami kawan-kawan PRT namun banyak juga yang tak berani bersuara, apalagi membela diri, ditambah ketiadaan payung hukum yang jelas, para PRT kemudian memilih untuk nrimo keadaan dan kondisi seperti ini sungguh kian memprihatinkan.

Tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Setiap tahun di hari tersebut para perempuan menghargai jasa-jasa Kartini dengan memakai kebaya. Namun memperingati hari Kartini bukan hanya sekedar berkebaya. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan ditengah kian maraknya kekerasan dan ketidakadilan serta kebijakan atau regulasi yang tidak pro-perempuan.

Bertepatan dengan hari Kartini, Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) menyatakan sikap:
1. Menyerukan kepada segenap pengguna jasa atau majikan untuk menggunakan perjanjian kerja sebagai perlindungan terkecil guna menghentikan kekerasan, baik fisik maupun psikologis kepada PRT sesuai dengan Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan pasal 37 ayat 1.
2. Mendesak pemerintah, khususnya pemerintah wilayah DIY, untuk segera memberi jaminan perlindungan kepada PRT dengan regulasi pro-PRT yang lebih konkrit dan pengakuan kesetaraan PRT dengan para pekerja lain guna pemenuhan hak-hak baik sebagai manusia maupun warganegara.

Memperingati hari Kartini kali ini marilah kita bersama-sama memelihara semangat juang dan pengakuan kesetaraan dan kesejahteraan bagi perempuan di segala bidang.

Yogyakarta, 21 April 2010

Sri Murtini
Sekjend KOY

Pekerja Rumah Tangga di Hari Kartini

Oleh : TIWI – Anggota KOY
Kita, sebagai warga Negara Indonesia pasti tahu bahwa R.A Kartini adalah tokoh pejuang perempuan Indonesia yang terkenal gigih dalam meperjuangkan emansipasi wanita, bahwa perempuan juga bisa dan mampu untuk menjadi pemimpin, bisa melakukan aktivitas layaknya laki-laki. Sebagai contoh, perempuan bekerja sebagai pegawai akntor, karyawan dan bahkan sebagai pejabat dalam pemerintahan.
Setiap tanggal 21 April warga Negara Indonesia memperingati hari kelahiran R.A Kartini untuk mengenang jasa-jasanya. Untuk di kesempatan kali ini saya perwakilan dari Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) sebagai salah satu perempuan Indonesia yang berprofesi sebagai PRT. KOY sendiri adalah wadah bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga, bukan Pembantu Rumah Tangga) yang kini mempunyai tiga serikat pekerja rumah tangga, yaitu: Serikat PRT Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Para PRT yang telah bergabung dengan KOY kini telah mengikuti program JAMSOSTEK sebagai wujud kemandirian PRT atas jaminan sosial dan keselamatan kerja yang selama ini mayoritas belum bisa dipenuhi oleh pengguna jasa/majikan. Padahal sebenarnya, pekerja rumah tangga adalah mitra kerja para pengguna jasa.majikan. bagaimana tidak, sementara mereka bekerja di sektor lain, para PRT lah yang mengerjakan pekerjaan domestik mereka di rumah. Dan saya sebagai perempuan yang berprofesi sebagai PRT merasa bangga, karena PRT adalah pekerjaan yang mulia.
Dan untuk pemerintah Indonesia, ingat bahwa perempuan Indonesia selain yang telah menjabat sebagai Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat dan lain sebagainya, bayak pula perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Maka jika mengingat belum adanya payung hukum yang mengatur tentang PRT secara konkrit, KOY mengajak semua elemen pemerintah untuk memperhatikan nasib PRT dalam pemenuhan hak-haknya dan kesetaraan sebagai perempuan dan warganegara.
Demikian sekelumit tentang PRT yang ikut berpartisipasi dalam peringatan hari Kartini ini. KOY mengajak kawan-kawan PRT atau siapa saja yang mempunyai kepedulian terhadap PRT, silahkan bergabung bersama kami di:
Kongres Operata Yogyakarta (KOY)
Perum Wirosaban barat No. 22
Sorosutan Umbul Harjo Yogyakarta
Telp: 0274 - 9126105

19 April 2010



PRT Layak Dapat Jamsostek
Minggu, 18 April 2010 13:10:00

BANTUL (KRjogja.com) - Para pembantu rumah tangga (PRT) bayak yang belum memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) karena masih belum mengakui keberadaanya sebagai pekerja normal, padahal layak mendapatkan jaminan kesehatan itu.

Karena itu, perlu payung hukum tegas yang memasukkan PRT sebagai di dalam bagian sektor pekerja. Selain itu, perlu ada pula aturan yang mewajibkan setiap majikan untuk mendaftarkan dan membayarkan jamsostek PRT yang bekerja untuknya.

Kabid Pemasaran Jamsostek Yogyakarta, Hasan Fahmi di sela acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, Minggu (18/4) yang diadakan KOY di Balai Desa
Soragan, Bantul, Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh ratusan PRT dari Kota Yogya, Sleman, dan Bantul.

"Saat ini, yang pekerja sektor informal yang terdaftar dalam jamsostek Yogyakarta ada 4500 orang, namun yang PRT baru 40 orang. Ke depan harus ada dasar hukum yang jelas, karena PRT kan pekerja juga, menghasilkan uang," tegasnya.

Hasan menjelaskan beberapa PRT tidak tinggal di rumah majikannya sehingga tetap beresiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah resiko kecelakaan tetap ada, seperti tersiram air panas.

"Untuk itu, PRT juga harus punya jamsostek, masuknya bisa program kecelakaan kerja dan kematian. Biayanya cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan," paparnya.

Fahmi menambahkan Jamsostek terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan PRT agar mengikutka dan membayari epkerjanya dalam jamsostek. Hal serupa dilakukannya di sektor pekerja informal lain, semisal pedagang kaki lima, tukang ojek dan nelayan.

"Kami bekerja sama dengan paguyuban pekerja sektor informal, agar dapat menarik anggotanya untuk bergabung dan mengumpulkan iurannya. Untuk PRT, kami bekerjasama dengan KOY (Kongres Operata Yogyakarta). Kami berharap Jamsostek memang untuk melindungi setiap orang yang mempunyai penghasilan," pungkasnya. (Den)

Pekerja Rumah Tangga Perlu Ikut Jamsostek
Ekonomi / Senin, 19 April 2010 08:06 WIB
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Pekerja rumah tangga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja, karena dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja, kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi.

"Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas," katanya di Yogyakarta, Minggu (18/4).

Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan.

Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.

"Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan jamsostek untuk pekerja rumah tangganya," katanya.

Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang.

"Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang," katanya.

Oleh karena itu, Jamsostek Yogyakarta terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga. Para majikan diharapkan mendaftarkan dan membiayai pekerja rumah tangganya dalam jamsostek.

"Untuk melakukan sosialisasi tersebut kami bekerja sama dengan Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini mengatakan pekerjaan yang dilakukan pekerja rumah tangga rentan mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan mereka.

"Saat ini baru ada sekitar 40 dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Oleh karena itu, kami mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut jamsostek, dan majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan jamsostek," katanya. (Ant/ICH)


Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta Bisa Dapat Jamsostek
Minggu, 18 April 2010 | 15:20 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Meskipun belum ada aturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur pekerja rumah tangga (PRT) sebagai pekerja, namun PRT di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).
Kecenderungan PRT saat ini yang tidak tinggal di rumah pemilik kerja atau majikannya membuat PRT termasuk berisiko mengalami kecelakaan saat berangkat ke tempat kerja maupun pulang dari kerja.

“Sifatnya sukarela, karena memang belum ada aturannya,” kata Kepala Bidang Pemasaran Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi dalam sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Bagi PRT dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan di Balai Desa Soragan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Minggu (18/4).

Hasan mengakui, belum adanya payung hukum terhadap PRT menjadi kendala di mana Jamsostek yang ada hanya diberikan kepada pekerja formal maupun informal. Pekerja formal ditandai dengan hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja (pengusaha). Sedangkan pekerja informal merupakan pekerja mandiri.
Menurut Hasan, PRT tidak masuk keduanya, meskipun punya hubungan kerja dengan pemilik kerja, tapi tidak ada aturannya. “Semestinya yang mengurus Jamsostek itu majikannya, karena dia yang bertanggung jawab atas PRT,” kata Hasan.

Besaran angsuran Jamsostek Rp 10.400 tiap bulannya. Jamsostek bagi PRT tersebut meliputi jaminan kecelakaan di lokasi kerja maupun saat berangkat dan pulang kerja, serta jaminan kematian. Klaim diberikan jika PRT telah membayar angsuran, meskipun angsuran pertama.
Lantaran belum ada aturannya, maka prosedur PRT untuk mendapatkan Jamkesos bisa langsung mendaftar ke Jamsostek setempat secara perorangan maupun melalui Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) yang membawahi organisasi pekerja rumah tangga (Operata) lainnya di Yogyakarta tanpa dipungut biaya.

Hanya saja, menurut Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini, dari 250 PRT yang tergabung dalam KOY, hanya 70 PRT saja yang telah mengurus Jamsostek. Mayoritas alasannya karena keberatan dengan nilai angsuran yang harus dibayarkan tiap bulannya, yakni Rp 10.400.
Sri Murtini pun berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT maupun Peraturan Gubernur DI Yogyakarta tentang PRT yang tengah digodok bisa segera disahkan.

“Penghasilan per bulan saya hanya Rp 350 ribu. Itu pun harus buat bayar sekolah anak, apalagi di swasta. Saya usul Rp 5.000 saja,” kata Koordinator Operata Gambiran Kota Yogyakarta Eko Handini kepada Tempo.

Hasan mengakui, besaran nilai nominal angsuran tersebut acapkali menjadi alasan keengganan PRT maupun pekerja informal lain untuk mengurus Jamsostek. Padahal, lanjut Hasan, dengan mengurus Jamsostek akan membuat pekerja tidak tergantung kepada orang lain saat mengalami musibah, baik kondisi pekerja yang akhirnya cacat atau meninggal dunia.

“Coba, berapa harga lipstik yang harus dibeli dibandingkan membayar angsuran Jamsostek per bulannya,” kata Hasan.

Sementara itu, perlindungan Jamsostek untuk tenaga kerja di luar hubungan kerja atau sektor informal telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 24 Taun 2006. Hingga saat ini, 200 nelayan di Yogyakarta dan pedagang kaki lima Malioboro telah mendaftar Jamsostek.
PITO AGUSTIN RUDIANA

SEPUTAR INDONESIA

PRT Perlu Mendapat Jamsostek

Sunday, 18 April 2010
BANTUL(SI) - Baru sebagian kecil Pekerja Rumah Tangga (PRT) di DIY yang terdaftar dalam Jaminan Sosial dan Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain karena kurangnya jaminan yang diberikan majikan mereka, pekerjaan PRT sendiri hingga saat ini belum memiliki landasan hukum yang jelas.
Kepala Bidang Pemasaran Jamsostek DIY Hasan Fahmi kemarin mengatakan, pekerjaan PRT sulit digolongkan menjadi pekerjaan formal atau informal. Hal ini disebabkan tidak adanya payung hukum yang jelas tentang pekerjaan PRT.Namun berdasarkan UU No 24 tahun 2006 tentang Jamsostek, PRT bisa tergolong dalam sektor informal.

”Karena tidak memiliki ketentuan hukum, maka kami mencoba memasukkan PRT ke sektor informal, walaupun sebenarnya juga tidak bisa dibilang seperti itu karena ada pihak yang memberikan kerja dan ada pihak yang membutuhkan kerja,” jelasnya di sela acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, di Balai Desa Soragan, Kasihan, Bantul,kemarin.

Dia menambahkan, pekerjaan PRT bukan tanpa risiko. Selain kecelakaan saat bekerja, PRT yang kebanyakan tidak tinggal di rumah majikan tersebut bisa saja mengalami kecelakaan saat berangkat maupun pulang bekerja. Dan di kondisi inilah peran Jamsostek dibutuhkan. ”Pemberi kerja atau majikan seharusnya memberikan tunjangan Jamsostek bagi PRT masingmasing.

Program yang bisa diikuti PRT yaitu jaminan terhadap kecelakaan dan kematian yang hanya perlu membayar Rp10.400 perbulan,” paparnya. Menurutnya, harga yang harus dibayar sudah terbilang murah.Apalagi ini menyangkut keselamatan para PRT itu sendiri. Dia berharap program bagi PRT ini bisa ada dasar hukum yang jelas sehingga betulbetul menjamin para PRT sendiri.

Sekretaris Jendral Kongres Operata Yogyakarta (KOY) Sri Murtini menuturkan, di Yogyakarta sendiri, jumlah PRT perempuan cukup besar.Menurut data Susenas 2002 ada sekitar 36.000 orang PRT. Sebagian besar jumlah PRT ini belum mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan sebagai pekerja, ini dikarenakan belum adanya peraturan yang menjamin hak mereka sebagai pekerja. (ratih keswara/ priyo setyawan)

Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Pekerja Rumah Tangga dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan



Pekerja Rumah Tangga Perlu Ikut Jamsostek; Kabar Baik Hari Ini.....!
Melindungi Hak-Hak Mereka
Pasti Anda sudah banyak terbantu dari keahlian dan kerelaan mereka mengerjakan pekerjaan yang sulit Anda kerjakan sendiri. Saat ada perlindungan Jamsostek akan lebih menjamin hak-hak mereka sebagai profesional, Anda Setuju....?

Yogyakarta, Kabarindo- Pekerja rumah tangga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja.

Itu dikarenakan dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja, kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi.

"Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas," katanya di Yogyakarta, Minggu (18/4) seperti dikutip dari Portal MI.

Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan.

Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.

"Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan jamsostek untuk pekerja rumah tangganya," katanya.

Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang.

"Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang," katanya.

Oleh karena itu, Jamsostek Yogyakarta terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga. Para majikan diharapkan mendaftarkan dan membiayai pekerja rumah tangganya dalam jamsostek.

"Untuk melakukan sosialisasi tersebut kami bekerja sama dengan Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini mengatakan pekerjaan yang dilakukan pekerja rumah tangga rentan mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan mereka.

"Saat ini baru ada sekitar 40 dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Oleh karena itu, kami mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut jamsostek, dan majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan jamsostek," katanya.


Ayo Kita Laksanakan.....!

Harian Joglo Semar

PRT di Jogja Wajib Jamsostek
Senin, 19/04/2010 09:00 WIB - ant

JOGJA—Pekerja rumah tangga (PRT) di wilayah Yogyakarta wajib memiliki jaminan sosial tenaga kerja, karena dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja.
”Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas,” kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi, Minggu (18/4).
Murah
Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp 10.400 per bulan.
Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki Jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.
”Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan Jamsostek untuk pekerja rumah tangganya.”
Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang. ”Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga, Sri Murtini mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut Jamsostek. ”Majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan Jamsostek,” katanya. (ant)

18 April 2010

Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Pekerja Rumah Tangga dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan

PRESS RELEASE

SARASEHAN
PERLINDUNGAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI
BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM SISTEM ASURANSI KETENAGAKERJAAN

Hidup Perempuan !!!
Hidup Pekerja Rumah Tangga !!!
Setiap tahun angka kematian ibu di Indonesia sangat tinggi sekitar 20.000 jiwa. Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan mengalami komplikasi saat hamil dan ketika melahirkan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik Indonesia memiliki angka rata-rata tertinggi. Dari 100.000 kelahiran hidup terdapat sebanyak 300-400 perempuan meninggal di Indonesia. Bahkan dibeberapa propinsi seperti Maluku, NTT dan Papua angkanya lebih tinggi sekitar 500-800 angka kematian.
Masalah kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi perempuan yang masih rendah juga menjadi salah satu sebab tidak terpantaunya kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu akses Informasi dan akses pemeriksaan kesehatan pada masyarakat miskin masih menjadi barang mahal yang sulit dijangkau, dan hal ini semakin menambah peliknya persoalan perempuan di Indonesia. Angka kematian ibu dapat diturunkan apabila perempuan di seluruh Indonesia mendapatkan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan yang berkualitas. Namun, masih banyak hambatan termasuk diskriminasi pada undang-undang dan praktek untuk memperoleh akses kepada informasi dan layanan kesehatan hak-hak reproduksi seksual, kesehatan reproduksi ibu, terutama perempuan dari komunitas miskin di Indonesia.
Pekerja rumah tangga di Indonesia yang sebagian besar adalah perempuan juga masih mengalami hal yang sama. Sulitnya mengakses informasi dan layanan kesehatan reproduksi membuat kesadaran mereka akan mendapatkan hak-hak reproduskinya masih sangat minim. Sedangkan dari segi bentuk pekerjaan yang mereka lakoni sangat rentan untuk mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan reproduksi mereka.
Di Yogyakarta, jumlah PRT perempuan cukup besar menurut data Susenas 2002 sekitar 36 ribuan orang. Dari sebagian besar jumlah PRT perempuan ini belum mendapatkan akses terhadap Jaminan kesehatan sebagai pekerja, ini dikarenakan belum adanya peraturan maupun perundang-undangan yang menjamin hak mereka sebagai pekerja meskipun perjuangan gerakan PRT di Yogyakarta telah dimulai sejak satu dasawarsa yang lalu. Maka dari itu, kami dari Kongres Operata Yogyakarta berinisiatif untuk bekerjasama dengan Jamsostek untuk memperolah jaminan kesehatan bagi 300 orang anggota kami yang sebagian besar adalah perempuan, karena kami menganggap masalah minimnya akses layanan kesehatan reproduksi adalah masalah yang harus segera diselesaikan dan ini bukan hanya masalah bagi PRT tetapi juga masalah bagi perempuan di Indonesia. Dan harapan kami, kelak terdapat peraturan atau perlindungan yang mengakui PRT sebagai pekerja sehingga kami sebagai PRT mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah sebagaimana yang didapatkan oleh pekerja lainnya. Sekian pernyataan sikap dari kami, semoga Jaminan Kesehatan bagi PRT dapat segera terwujud.

Yogyakarta, 18 April 2010

Sri Murtini
Sekretaris Jendral
PRT Butuh Pemahaman Kespro
Minggu, 18 April 2010 12:52:00

BANTUL (KRjogja.com) - Para pembantu rumah tangga (PRT) juga perlu memperhatikan kesehatan reproduksi (kespro) karena tingginya angka kematian ibu saat hamil dan melahirkan yang mencapai 20.000 jiwa.

Demikian diungkapkan Sekjen Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta Sri Murtini menjelaskan dalam acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, Minggu (18/4) yang diadakan KOY di Balai Desa Soragan, Bantul, Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh ratusan PRT dari Kota Yogya, Sleman, dan Bantul

"Di Yogya, beberapa tahun lalu ada satu PRT yang meninggal karena pendarahan akibat keguguran. Belum lagi ada beberapa yang lain, meski tidak sampai meninggal. Ini membuktikan masih banyak PRT yang belum memahami masalah kesehatan seksual dan reproduksi," ujarnya.

Menurut Sri Murtani akses Informasi dan akses pemeriksaan kesehatan pada masyarakat miskin masih menjadi barang mahal dan sulit dijangkau. Hambatan lainny adalah diskriminasi undang-undang dan praktek untuk memperoleh akses kepada informasi serta
layanan kesehatan hak reproduksi seksual termasuk kesehatan reproduksi ibu, terutama perempuan dari komunitas miskin di Indonesia.

"Dari bentuk pekerjaan, yang dilakukan PRT sangat rentan untuk mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan reproduksi mereka. Untuk itu, kami mengajak PRT di Yogyakarta untuk secara sadar ikut jamsostek," katanya.

Dia mengakui saat ini baru ada sekitar 40 PRT dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Dan berharap, majikan juga sadar akan kesehatan reproduksi PRT dengan cara membayarkan jamsostek," tandasnya. (Den)

12 April 2010

Launching Sekolah Perempuan di Gunung Kidul

Solo Pos
Edisi : Sabtu, 10 April 2010 , Hal.3
Tinggi, kejahatan seksual di Gunungkidul

Gunungkidul (Espos) Kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Gunungkidul menempati urutan teratas dibandingkan kabupaten lainnya di DIY.

Tercatat 300 kasus yang ditangani Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) sejak 2008. Perempuan di daerah sangat rentan menjadi korban karena kurangnya pemahaman dan akses informasi yang masih minim. Bagian pengorganisasian sending area wilayah Gunungkidul Rumpun RTND Gunungkidul, Lukman Hakim, mengatakan selain kurang informasi, sebagian besar perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di wilayah Yogyakarta. Profesi ini banyak diminati karena diyakini tidak memerlukan pendidikan dan mudah dilakukan meski perlindungan terhadap profesi ini kurang. Banyak ditemukan PRT diberikan jam kerja yang panjang, upah dan fasilitas yang minim tiada jaminan kesehatan. Lebih parahnya lagi perempuan banyak menjadi korban kejahatan seksual, pernikahan dini dan perceraian. Tercatat jumlah kekerasan seksual sebanyak 300 kasus pada 2007 dan 959 pada 2008. “Perempuan yang selalu menjadi korban tersebut karena kurangnya informasi pendidikan dan kesehatan tentang gender,” kata Lukmat di sela-sela launching sekolah perempuan yang diprakarsai Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) dan RTND di balai Dusun Klopoloro I Giripanggung Tepus, Jumat (9/4). Sekjen KOY, Tri Murtini menambahkan, daerah yang sulit di akses informasi teknologi bahkan transportasi diperlukan sekolah bagi perempuan. Dengan tujuan bisa mengantarkan setiap orang untuk memiliki kontrol otoritas tubuh mereka dalam memilih perawatan bagi dirinya sendiri. Pembahasan yang ada pada sekolah perempuan terkait gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi dan seksual lainnya. Sekolah yang sudah berdiri sejak Agustus 2009 tersebut diharapkan bisa memfasilitasi ibu-ibu dan remaja putri di daerah terpencil untuk membangun peradaban pendidikan. Selain kekerasan, isu pertanian juga masih mendominasi bahwa perempuan selama ini masih menjadi buruh dalam bercocok tanam. Lukman menyatakan terkait tingginya PRT dari Gunungkidul yang jumlahnya mencapai 6.000 orang, pemerintah melihat dengan sebelah mata dengan menekan jumlah profesi ini. Pemerintah berorientasi bahwa pekerja PRT adalah warga miskin padahal kontribusi kepada keluarga cukup besar dari hasil upah yang diterima. Di sisi lain seolah-olah PRT menjadi sapi perah di mana uang hasil kiriman untuk foya-foya keluarga. Maka dari itu perlu pendekatan-pendekatan kepada keluarga yang bersangkutan untuk bisa memahami uang yang dikirimkan disesuaikan kebutuhan keluarga.




09 April 2010

Press Release

Launching Sekolah Perempuan Program Pendidikan Pemahaman Gender, Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Pemiskinan sudah identik dengan kondisi kehidupan masyarakat di Gunung Kidul, kondisi geografis yang berupa pegunungan kapur dan sedikitnya persediaan air menjadikan Kabupaten ini sering mengalami kekeringan ketika tiba musim kemarau. Tandusnya alam di Gunung Kidul menjadikan masyarakat tidak bisa sepenuhnya menggantungkan penghidupan pada pertanian, perkebunan dan perternakan. Industri yang dibangun Pemerintah di Gunung Kidul belum bisa menyerap banyak tenaga kerja sehingga banyak warga Gunung Kidul baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan migrasi ke Kota-kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Sektor pekerjaan yang digeluti oleh sebagian besar penduduk perempuan Gunung Kidul yang merantau adalah profesi Pekerja Rumah Tangga dan sebagian besar bekerja di wilayah Yogyakarta. Karena profesi sebagai PRT diyakini tidak memerlukan pendidikan dan mudah dilakukan. Meski mengingat betapa minimnya perlindungan terhadap profesi ini. Jam kerja yang panjang, upah dan fasilitas yang minim, tiadanya jaminan kesehatan memaksa mereka untuk bekerja sebagai PRT. Di Yogyakarta sendiri ada kurang lebih 39 ribu orang yang berprofesi sebagai PRT.

Dari data kelompok PRT dampingan Rumpun Tjoet Njak Dien di kota Yogya yang berasal dari gunung Kidul diperoleh informasi bahwa begitu besar angka kejahatan seksual, pernikahan dini dan tingginya angka perceraian yang terjadi. Kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Gunung kidul menempati urutan teratas dibandingkan kabupaten lainnya di Yogyakarta yaitu kurang lebih 300 kasus selama tahun 2008. sedangkan angka perceraian, Kabupaten Gunung Kidul berdasarkan data dari Pengadilan agama Wonosari, juga menempati tempat teratas dibandingkan kabupaten lainnya yaitu sebesar 959 kasus pada tahun 2008, hingga awal Desember 2009 sudah masuk 1071 perkara.

Tingginya kejahatan seksual, pernikahan dini, angka perceraian serta berbagai penyakit menular seksual merupakan akibat dari kurangnya akses informasi, akses pendidikan dan akses kesehatan tentang gender, kesehatan seksual dan reproduksi masyarakat gunung kidul dan PRT khususnya perempuan sebagai pihak yang terkena dampak secara langsung. Mengingat pula kawasan gunung kidul sebagian besar sebagai daerah yang dikatagorikan terpencil dari akses transportasi dan komunikasi yang berakibat pula pada akses kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, dan informasi). Hal inilah yang mendorong Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) bekerjasama dengan RTND dan para perempuan muda maupun dewasa di Kecamatan Tepus untuk mendirikan Sekolah Perempuan.

Sekolah ini di bangun berdasarkan pada apa yang menjadi kebutuhan komunitas, potensi yang sudah ada dalam komunitas dan dilakukan bersama oleh komunitas. Terutama dalam kaitannya membuka akses informasi dan menanamkan pemahaman terhadap Hak Seksual dan Reproduksi perempuan. Sekolah perempuan ini mencoba membongkar paradigma tentang sekolah yang selama ini selalu diidentikkan dengan gedung, berseragam, kurikulum, guru, siswa dan bahkan SPP.


Sekolah Perempuan ini diharapkan bisa mengantarkan setiap orang untuk memiliki kontrol dan otoritas tubuh mereka dalam memilih perawatan bagi dirinya sendiri. Pencapaian tersebut menjadi titik pergerakkan menciptakan kesetaraan gender. Dengan demikian perempuan sudah memiliki bekal pemahaman harus bagaimana bersikap dan merespon situasi yang akan menyudutkannya.

Hal yang menjadi pembahasan dalam Sekolah Perempuan adalah tentang Gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, tabu dan mitos, pendidikan seks, anatomi dan fisiologi organ seksual, kontrasepsi dan alat-alat kontrasepsi, penyakit dan infeksi menular seksual, kehamilan dan menyusui, juga mengenai tentang otoritas tubuh. Harapannya kedepan, dengan adanya Sekolah Perempuan ini dapat menjadi suatu gerakan sosial yang dinamis dalam pemahaman gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi pada masyarakat Indonesia dan ini menjadi cita-cita besar KOY dalam memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan.

Yogyakarta, 9 April 2010
Hormat kami,




Sri Murtini
Sekjend KOY

04 Maret 2010

Pergub PRT Harus Penuhi Kultur Masyarakat
Kamis, 4 Mar 2010 13:47:04
Bernas JOGJA Rencana Pemerintah Provinsi DIY menelurkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur pekerja rumah tangga (PRT) hendaknya memperhatikan aspek kultur masyarakat Yogyakarta yang guyup, rukun dan gotong royong dalam perumusan isi pergub tersebut.
Direktur Pusat Konsultasi Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Heniy Astiyanto mengusulkan agar konten dalam pergub itu ditekankan pada kesepakatan antara PRT dan majikan. "Pergub tidak usah terlalu detail karena itu nanti malah mematikan ruang musyawarah untuk kebaikan bersama," katanya dalam diskusi Kajian Perlindungan Hukum bagi PRT di Yogyakarta di Kantor Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), Rabu (3/3).
Untuk merumuskan pergub tersebut, lanjutnya, pihak pihak terkait wajib diikut sertakan dalam pembahasannya. Seperti di antaranya perwakilan PRT, perwakilan majikan, organisasi perempuan dan organisasi keagamaan.
Munculnya rencana pergub khusus PRT itu sendiri mencuat seiring diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY No 244 tahun 2009 yang menganulir pasal 37 yang mengatur PRT dalam Perda Kota Yogyakarta No 13 tahun 2009. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai pasal tersebut tidak sesuai dengan Undang undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sektor formal, sehingga ia menilai perlu diterbitkan pergub khusus untuk mengatur PRT.
Hingga saat ini Pemprov DIY telah membentuk tim yang berisikan
pakar pakar dari perguruan tinggi untuk merumuskan pergub tersebut.
Ditargetkan pergub itu akan selesai dalam tahun ini.
Sementara itu Direktur RTND, Yuni Satya Rahayu masih berharap PRT akan diakui sebagai pekerja formal. Perjuangan ke arah itu sudah dimulai dengan mengubah istilah PRT dari pembantu rumah tangga menjadi pekerja rumah tangga. "Kalau pembantu kan hanya bekerja secara sukarela maka diupahnya juga sukarela," tuturnya.
Selama pembahasan Perda 13/2009, pihaknya berkali kali mendesak Walikota Yogyakarta agar memasukkan PRT dalam perda itu tahun 2008 lalu. Terlebih pada masa itu mereka melihat ada niatan baik dari Walikota untuk melindungi hak hak PRT sebagai pekerja.
Dengan adanya perda yang mengatur PRT tentu akan memberi jaminan
perlindungan hukum bagi mereka. Pasalnya selama ini banyak hak kaum
PRT yang tak terpenuhi mulai dari hak ekonomi, hak berserikat dan hak terbebas dari tindak kekerasan dari majikannya.
Saat ini jumlah PRT terbilang cukup besar, menurut Sakrenas Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 dan estimasi ILO tahun 2009 PRT di Indonesia mencapai tiga juta orang dan lebih dari 37 ribu PRT berada di DIY, 90 persennya adalah kaum perempuan. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah tiap tahunnya seiring dengan keterpaksaan perempuan perempuan desa yang tidak bisa mencari pekerjaan di desa. (rat)

03 Maret 2010

Keputusan Gubernur DIY, Langkah Mundur Melindungi PRT
Rabu, 03 Maret 2010 11:40:00


YOGYA (KRjogja.com) - Munculnya Keputusan Gubernur No 244/KEP/2009 yang mengklarifikasi Perda 13/2009, terutama pasal 37, dianggap menyudutkan posisi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Dengan adanya keputusan tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan HB X dianggap telah melakukan langkah mundur untuk melindungi para PRT di DIY.

"Adakah kewenangan gubernur membatalkan perda? Negara seharusnya bertanggungjawab melindungi PRT sebagai pekerja. Menurut Undang-Undang No 13 tahun 2003, negara wajib memberikan perlindungan hukum, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga, serta memperlakukan secara sama di depan hukum," kata Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik, Beny Susanto di kantor Lembaga Roempoen Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta, Rabu (3/3).

Senada dengan Beny, Direktur RTND Yuni Satia Rahayu menjelaskan, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar di dunia. Jumlah PRT di dunia menurutnya lebih dari 100 juta, di Indonesia mencapai 3 juta PRT domestik, dan di Yogya mencapai lebih dari 37.000 PRT.

"Di Yogya, inisiasi perlindungan PRT sudah dimulai sejak 1998. telah disusun draft perda perlindungan PRT dan baru keluar tahun 2003 melalui surat edaran Gubernur yang isinya berupa imbauan kepada pemda di kabupaten/kota untuk membuat peraturan yang melindungi PRT. Surat keputusan Gubernur tahun 2009 yang merupakan klarifikasi Perda no 37 bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan," jelasnya. (Den)

16 Februari 2010

Pemprop DIY Takkan Batalkan Perda PRT
Selasa, 16 Pebruari 2010 14:48:00


YOGYA (KRjogja.com) - Pemerintah Propinsi (Pemprop) DIY melalui Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Propinsi DIY, Tavip Agus Rayanto menegaskan, pihaknya tidak pernah membatalkan Perda Kota Yogyakarta No. 13/2009 tentang ketenagakerjaan yang salah satu pasalnya mengatur tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Dalam hal ini, pemprop hanya bisa melakukan klarifikasi kepada Menteri Dalam Negeri.

"Propinsi itu mempunyai tugas untuk membantu pemerintah pusat dalam melakukan klarifikasi karena kita adalah kepanjangan tangan dari pusat. Yang memutuskan membatalkan atau tidak membatalkan Perda tersebut kewenangannya ada pada Menteri Dalam Negeri," terangnya kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (16/2).

Diterangkannya, klarifikasi tersebut diperlukan karena dalam Pasal 37 Perda tersebut ternyata membahas masalah PRT dimana tidak disebutkan seperti apa (secara formal) dalam UU ketenagakerjaan. "Karena itu maka pemprop DIY melakukan klarifikasi dengan SK Gubernur No 244 Tahun 2009," tuturnya.

Menurut Tavip, jika Menteri Dalam Negeri belum melaksanakan klarifikasi yang disampaikan Pemprop DIY, berarti Perda tersebut dengan kondisi seperti itu bisa tetap jalan. "Tetapi kalau menteri melakukan klarifikasi dengan membatalkan atau mengoreksi Perda tersebut, maka aturannya harus dipatuhi,'' katanya.

Sementara itu, Kepala Bagian Pengawasan Produk Hukum Biro Hukum Setda Propinsi DIY, Samsu Hadi menambahkan, dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.568/0807 tanggal 5 Maret 2003 kepada bupati/walikota se-DIY disebutkan bahwa Gubernur mengharapkan agar Pemerintah Kabupaten/Kota menerbitkan peraturan yang mengatur hubungan kerja antara Pramurumahtangga dengan pengguna jasa.

''Gubernur sudah punya semangat bahwa PRT benar-benar harus dilindungi secara hukum. Kita juga bedakan antara PRT dan tenaga kerja. UU tenaga kerja adalah untuk tenaga trampil yang harus mengikuti pelatihan pelatihan, sedangkan PRT lain perlakuannya. Karena itu dalam waktu dekat Pemprop akan menyusun peraturan gubernur tentang PRT,'' imbuhnya.

Pihak Pemprop DIY juga sudah membentuk tim untuk membuat draft Peraturan Gubernur yang mengatur PRT dengan melibatkan beberapa pakar dari Perguruan Tinggi di DIY. Dimana PRT pada konsepnya adalah keluarga dan tidak sekedar hubungan majikan dengan buruh. (Ran)

14 Februari 2010

PRT Yogya Kembali Demo, Tuntut 15 Februari Hari PRT Nasional
Minggu, 14 Pebruari 2010 09:55:00


Massa dari beragam LSM di depan gedung DPRD DIY. Foto: Deny Hermawan

YOGYA (KRjogja.com) - Puluhan PRT dan aktivis Yogya yang tergabung di dalam Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Minggu (14/2) melakukan demo di gedung DPRD DIY. Selain kembali menuntut pencabutan SK Gubernur No.244 tahun 2009, yang menyatakan PRT bukan pekerja sektor informal, massa juga menuntut 15 Februari agar dijadikan
sebagai hari PRT nasional.

Massa JPPRT terdiri dari berbagai elemen, diantaranya Kongres Operata Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), Rifka Anisa, PKBI DIY, Sahabat Perempuan, dan lain-lain. Menurut Direktur Yayasan RTND Yuni Satia Rahayu, JPPRT menuntut agar pemerintah provinsi mempertahankan Perda no. 13 tahun 2009 yang memuat satu pasal mengenai PRT. Massa juga menuntut pemberian hari libur (minggu) bagi PRT.

"Harapan PRT Yogya pupus dengan adanya SK Gubernur no 244, yang menyatakan PRT bukan pekerja sentor informal, sehingga tidak perlu diatur dalam Perda penyelenggaraan ketenagakerjaan. kami tidak akan pernah berhenti dan terus melakukan gerakan sampai terwujudnya perlindungan hukum untuk PRT,"tegasnya.

Selain membawa berbagai macam tulisan yang berisi tuutunan perlindungan bagi PRT, massa juga membawa dua buah serbet raksasa sepanjang kurang lebih sepuluh meter. DI serbet tersebut, tertulis berbagai aspirasi PRT, diantaranya ''Tolak SK Gubernur, PRT juga manusia, hentikan kekerasan terhadap PRT'', dan sebagainya. (Den)

11 Februari 2010

Jawaban Sultan atas Aksi KOY dan RTND menolak SK GUB No. 244/Kep/2009


Regulasi PRT akan jadi Perda

Kamis, 11 Februari 2010 10:33:23


JOGJA: Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dengan tegas mengatakan tidak akan mencabut Surat Keputusan (SK) 244/Kep/2009 yang menganulir Peraturan Daerah (Perda) Kota Jogja, No.13 Tahun 200, Pasal 37 tentang Kontrak Kerja dan Perjanjian Kerja Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Hal ini disampaikan Sultan menyusul adanya desakan dari Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY), dalam aksi demo yang dilaksanakan di Pemkot Jogja, Selasa (9/2). Aksi para pembantu yang didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) merasa kecewa terhadap SK Gubernur yang menganulir aturan perlindungan terhadap profesi pembantu rumah tangga.

Sultan mengatakan, penganuliran terhadap salah satu pasal dalam Perda yang diterbitkan Pemkot Jogja itu dilakukan menyusul adanya pembatasan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Ketentuan yang disyaratkan Mendagri dalam pembuatan Perda ketenagakerjaan adalah hanya mengatur para pekerja informal. Sedangkan, keberadaan PRT masih tergolong pekerja informal.

“Kan dasarnya sebelum Perda itu dikirim ke pusat. Itu (Perda) bisa dievaluasi oleh provinsi. Karena aturan dalam Perda itu ketentuan dalam negeri untuk tenaga kerja, bukan PRT yang sifatnya informal. Saya menolak itu, karena ada ketentuan atasan saya yang membatasi,” kata Sultan di Kepatihan, Rabu (10/2).

Menurut Sultan, SK itu sudah tepat. Namun bukan berarti Pemprov tidak berpihak pada PRT. Untuk masalah PRT, dia berjanji akan membentuk Perda sendiri. “Pemerintah Provinsi akan mengatur sendiri bentuk Perda bagi PRT (yang informal), karena Perda yang dibuat Pemkot itu masalah tenaga kerja. Untuk itu kami akan bentuk tim di tingkat provinsi, tak hanya untuk kota,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan gubernur, Koordinator Advokasi PRT Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Buyung Ridwan Tanjung mengaku tidak bisa mempercayai 100% atas janji gubernur. Alasannya, sejak 10 tahun lalu elemen masyarakat yang bergerak dalam memperjuangkan PRT sudah melakukan inisiasi mengenai Perda PRT agar masuk di tingkat provinsi.

“Tapi apa? Sama sekali tak pernah direspons. Padahal kami sudah memperjuangkan ini ke pihak eksekutif maupun legislatif, lengkap dengan draf Perda yang sudah kami buat. Jangankan direspons, masuk ke Prolegda saja tidak,” ujar dia dihubungi terpisah.

Menurutnya, Perda PRT tersebut sangat penting. Pasalnya, saat PRT diatur dalam perda, berarti PRT mendapat pengakuan sebagai pekerja. Sehingga, secara hukum para PRT telah memiliki perlindungan tersendiri bagi profesinya. Dengan diakuinya PRT sebagai pekerja, kata dia, PRT juga memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Buyung menolak apabila PRT dikatakan sebagai pekerja informal, yang memicu dikeluarkannya SK Gubernur tersebut. Karena, dalam UU Ketenagakerjaan, PRT sudah memenuhi tiga syarat untuk disebut sebagai pekerja, seperti pekerja formal pada umumnya. “Syarat itu adalah pekerjaan, adanya upah, serta adanya hubungan antara atasan dan bawahan,” imbuh dia.

Oleh Andreas Tri Pamungkas
Harian Jogja

10 Februari 2010

Puluhan Pekerja Rumah Tangga Unjuk Rasa

MEDIA INDONESIA Selasa, 09 Februari 2010

YOGYAKARTA--MI: Puluhan pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY) menggelar unjuk rasa di depan kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, Selasa (9/2).

Mereka menggelar aksi tersebut didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta dan diakhiri di Kantor DPRD Kota Yogyakarta.

Aksi tersebut merupakan dukungan agar DPRD dan Pemkot Yogyakarta memasukkan PRT dalam aturan ketenagakerjaan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 tahun 2009.

Koordinator Advokasi KOY dan RTND Yogyakarta Buyung Ridwan Tandjung mengungkapkan aksi tersebut sekaligus sebagai ungkapan kekecewaan terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur yang tidak menyetujui PRT diatur dalam Perda No 13 tahun 2009.

"Melalui SK No 244/Kep/2009 tertanggal 14 Desember 2009, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta agar pasal yang memasukkan PRT ke dalam peraturan daerah tentang ketenagakerjaan dianulir," katanya.

Menurut Buyung, PRT juga membutuhkan perlindungan. Sehingga tekad Pemkot Yogyakarta untuk memasukkan mereka ke dalam perda adalah terobosan bagus dan layak dicontoh oleh daerah lain.

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta Sujanarko mengungkapkan, kewenangan Pemkot Yogyakarta hanya membuat perda dan menunggu persetujuan gubernur. Dengan demikian, jika gubernur sudah melakukan koreksi, pihaknya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

"DPR RI saat ini tengah menyusun rancangan undang-undang (UU) PRT. Kita tunggu saja," ujarnya. (SO/OL-01)

Aksi KOY dan RTND menolak SK GUB No. 244/Kep/2009







09 Februari 2010

Aksi PRT Menyikapi Pembatalan Perda Ketenagakerjaan

YOGYA – sekitar tiga puluh massa yang tergabung dalam Konggres
Organisasi Pekerja Rumah Tangga dan Rumpun Tjoet Njak Dien selasa
(9/2) siang, gelar aksi unjuk rasa di sekitar kawasan Balaikota, yang
dilajutkan ke Gedung DPRD Kota Yogyakarta.

Menurut keterangan Koordinasi Divisi Advokasi Rumpun Tjoet Njak Dien,
Buyung Ridwan, aksi kali digelar untuk menyikapi tentang pembatalan
pasal 37 Perda Ketenagakerjaan tentang PRT oleh surat keputusan
Gubernur.

Dalam aksinya massa berharap para PRT bisa mendapatkan perlindungan
hukum yang selama ini masih dirasa kurang. Keputusan Gubernur tersebut
tidak hanya mengebiri hak-hak PRT untuk mendapatkan perlindungan
secara hukum, namun juga mengebiri hak-hak anggota DPRD Kota dan
Eksekutif Kota yang telah mengesahkan Perda tersebut pada 9 juni 2009
lalu.

Konggres Organisasi Pekerja Buruh Rumah Tangga Yogyakarta dan Rumpun
Tjoet Njak Dien menyatakan menolak keputusan Gubernur 244/kep/2009 dan
mendukung sepenuhnya segenap aksekutif dan legislatif kota untuk
menguji materiil SK Gubernur tersebut dan mempertahankan Perda no 131
2009 tentang ketenagakerjaan dimana salh satunya pasal mengatur
tentang PRT. ( Ln)

sumber: http://globalfmjogja.com/GLOBAL-NEWS/aksi-prt-menyikapi-pembatalan-perda-ketenagakerjaan.html

Rumpun Tjut Nyak Dien tolak SK Gubernur


Selasa, 09 Februari 2010 11:05:17



JOGJA: Rumpun Tjut Nyak Dien menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Balekta Jogja, Selasa (9/2) pagi ini. Para demonstran menolak SK Gubernur No 244/2009 yang menganulir salah satu pasal dalam Perda 13/2009 tentang Penyelanggaraan Ketenagakerjaan.

Koordinator aksi, Buyung Ridwan menuturkan Perda tersebut sebenarnya sangat penting karena melindungi pembantu rumah tangga (PRT).

"Dengan munculnya SK Gubernur ini, perlindungan terhadap PRT kembali lemah," ujar Buyung.(Harian Jogja/Budi Cahyana)

FOTO: Harian Jogja/Gigih M Hanafi
PRT Yogyakarta Tolak SK Gubernur
Selasa, 09 Pebruari 2010 10:22:00

Para PRT Yogyakarta turun ke jalan, menolak SK Gubernur DIY. (Foto : Deny Hernawan)

YOGYA (KRjogja.com) - Puluhan massa anggota Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) dan Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) melakukan demonstrasi di depan rumah dinas Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto di Timoho, Umbulharjo, Yogyakarta, Selasa (9/1). Massa menolak Surat Keputusan Gubernur DIY no 244 tahun 2009 yang mementahkan Perda no 13 tahun 2009 tentang ketenagakerjaan, dimana salah satu pasalnya mengatur tentang PRT.

Menurut Koordinator Divisi Advokasi RTND, Buyung Ridwan Tanjung, harapan para Pembantu Rumah Tangga (PRT) untuk mendapatkan perlindungan hukum melalui Perda no 13 tahun 2009 dimentahkan secara sewenang-wenang oleh gubernur melalui klarifikasi pencabutan PRT dari bagian pekerja formal, lewat Kepgub no 244 tahun 2009. Menurutnya, ini membuktikan tidak adanya penghormatan terhadap eksekutif dan legislatif ditingkat II (Kota Yogyakarta).

"Keputusan tersebut tidak hanya mengebiri hak-hak PRT untuk mendapatkan perlindungan secara hukum, namun juga mengebiri hak-hak DPRD Kota dan eksekutif yang telah mengesahkan perda tersebut pada 9 Juni 2009," ujarnya.

Pihaknya mendesak, eksekutif dan legislatif Kota Yogyakarta untuk melakukan uji materiil SK gubernur tersebut dan mempertahankan Perda no 13 tahun 2009. Setelah melakukan demo di samping balaikota, menurutnya massa akan melakukan aksi serupa di DPRD Kota Yogyakarta.

"Eksekutif dan legislatif harus membentuk konsultan ahli, untuk uji materiil SK gubernur tersebut. Kalaupu akhirnya mereka mendukung SK tersebut, kami sendiri yang akan melakukan uji materiil, akan kita lakukan lewat Mahkamah Agung," tegasnya. (Den)