21 April 2010

Press Release Hari Kartini

Hidup Perempuan!

Hidup Pekerja Rumah Tangga!

Perempuan di zaman dahulu tak memiliki kebebasan seperti perempuan zaman sekarang. Kebebasan disini dalam artian perempuan pada waktu itu hanya menjadi jenis kelamin kelas dua di bawah laki-laki yang tugasnya hanya mengerjakan pekerjaan di rumah dan mengurus anak-anak. Larangan tersebut akibat budaya patriarki yang menjadi tolok ukur leluhur sehingga perempuan yang keluar dari aturan yang telah mendarah daging itu akan dijuluki perempuan tidak benar. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya perjuangan Kartini di masa lalu membawa perempuan memiliki kebebasan beraktifitas. Tanpa jasa Kartini perempuan tidak akan mempunyai hak untuk bersekolah, apalagi berorganisasi serta beraktivitas sesuai dengan profesi masing-masing layaknya kiprah perempuan sekarang dalam segala lini kehiupan.

Perjuangan kartini adalah sebuah proses panjang dan potret perjuangan perempuan demi memenuhi hak-haknya. Namun perjuangan Kartini tak boleh serta merta terhenti sampai disini. Hal tersebut dikarenakan perempuan masih dan tetap saja menerima kekerasan dan ketidakadilan.

Di zaman sekarang, perempuan bekerja adalah sebuah hal yang lumrah. Faktor pendorongnya tentu saja akibat tuntutan ekonomi yang begitu tinggi. Dan pekerjaan yang kerap dipilih adalah sebagai PRT karena mereka meyakini pekerjaan sebagai PRT tak memerlukan pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Siapa saja bisa berprofesi sebagai PRT. Namun hal tersebut lah yang kemudian menjadikan pekerjaan sebagai PRT selalu dipandang sebelah mata, tidak dihargai, gajinya rendah dan belum adanya perlindungan hukum, lebih-lebih jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Bahkan parahnya, mayoritas masyarakat masih memandang PRT sebagai Pembantu Rumah Tangga, batur atau rewang kalau dalam bahasa jawanya. Padahal jika ditinjau dari segi pekerjaan dan gaji yang ia terima, PRT harusnya sama saja dengan para pekerja lain. Tak mudah menghapus stigma masyarakat yang masih menganggap PRT adalah pembantu dan kemudian menggantinya dengan menanamkan bahwa PRT adalah Pekerja Rumah Tangga. Oleh karenanya, Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi payung yang membawahi PRT yang tersebar di Kota, Kabupaten bahkan Gunung Kidul sebagai daerah sending area PRT di Yogyakarta, berusaha merubah stigma tersebut dengan mensosialisasikan PRT = Pekerja Rumah Tangga kepada segenap masyarakat, pengguna jasa khususnya, agar hak-hak PRT dapat dipenuhi selayaknya pekerja lain. Sama halnya ketika Kartini berjuang keras untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Meski mendapat cemoohan namun Kartini tak pernah menyerah, seperti halnya KOY yang meyakini jika tak mengenal kata menyerah dengan menyatu dalam sebuah wadah yang secara bersama-sama menyuarakan apa yang selama ini tak berani untuk diungkapkan secara individual maka cita-cita menjadi setara antara PRT dengan para pekerja akan tercapai.

Banyak kekerasan yang dialami kawan-kawan PRT namun banyak juga yang tak berani bersuara, apalagi membela diri, ditambah ketiadaan payung hukum yang jelas, para PRT kemudian memilih untuk nrimo keadaan dan kondisi seperti ini sungguh kian memprihatinkan.

Tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Setiap tahun di hari tersebut para perempuan menghargai jasa-jasa Kartini dengan memakai kebaya. Namun memperingati hari Kartini bukan hanya sekedar berkebaya. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan ditengah kian maraknya kekerasan dan ketidakadilan serta kebijakan atau regulasi yang tidak pro-perempuan.

Bertepatan dengan hari Kartini, Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) menyatakan sikap:
1. Menyerukan kepada segenap pengguna jasa atau majikan untuk menggunakan perjanjian kerja sebagai perlindungan terkecil guna menghentikan kekerasan, baik fisik maupun psikologis kepada PRT sesuai dengan Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan pasal 37 ayat 1.
2. Mendesak pemerintah, khususnya pemerintah wilayah DIY, untuk segera memberi jaminan perlindungan kepada PRT dengan regulasi pro-PRT yang lebih konkrit dan pengakuan kesetaraan PRT dengan para pekerja lain guna pemenuhan hak-hak baik sebagai manusia maupun warganegara.

Memperingati hari Kartini kali ini marilah kita bersama-sama memelihara semangat juang dan pengakuan kesetaraan dan kesejahteraan bagi perempuan di segala bidang.

Yogyakarta, 21 April 2010

Sri Murtini
Sekjend KOY

Pekerja Rumah Tangga di Hari Kartini

Oleh : TIWI – Anggota KOY
Kita, sebagai warga Negara Indonesia pasti tahu bahwa R.A Kartini adalah tokoh pejuang perempuan Indonesia yang terkenal gigih dalam meperjuangkan emansipasi wanita, bahwa perempuan juga bisa dan mampu untuk menjadi pemimpin, bisa melakukan aktivitas layaknya laki-laki. Sebagai contoh, perempuan bekerja sebagai pegawai akntor, karyawan dan bahkan sebagai pejabat dalam pemerintahan.
Setiap tanggal 21 April warga Negara Indonesia memperingati hari kelahiran R.A Kartini untuk mengenang jasa-jasanya. Untuk di kesempatan kali ini saya perwakilan dari Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) sebagai salah satu perempuan Indonesia yang berprofesi sebagai PRT. KOY sendiri adalah wadah bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga, bukan Pembantu Rumah Tangga) yang kini mempunyai tiga serikat pekerja rumah tangga, yaitu: Serikat PRT Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Para PRT yang telah bergabung dengan KOY kini telah mengikuti program JAMSOSTEK sebagai wujud kemandirian PRT atas jaminan sosial dan keselamatan kerja yang selama ini mayoritas belum bisa dipenuhi oleh pengguna jasa/majikan. Padahal sebenarnya, pekerja rumah tangga adalah mitra kerja para pengguna jasa.majikan. bagaimana tidak, sementara mereka bekerja di sektor lain, para PRT lah yang mengerjakan pekerjaan domestik mereka di rumah. Dan saya sebagai perempuan yang berprofesi sebagai PRT merasa bangga, karena PRT adalah pekerjaan yang mulia.
Dan untuk pemerintah Indonesia, ingat bahwa perempuan Indonesia selain yang telah menjabat sebagai Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat dan lain sebagainya, bayak pula perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Maka jika mengingat belum adanya payung hukum yang mengatur tentang PRT secara konkrit, KOY mengajak semua elemen pemerintah untuk memperhatikan nasib PRT dalam pemenuhan hak-haknya dan kesetaraan sebagai perempuan dan warganegara.
Demikian sekelumit tentang PRT yang ikut berpartisipasi dalam peringatan hari Kartini ini. KOY mengajak kawan-kawan PRT atau siapa saja yang mempunyai kepedulian terhadap PRT, silahkan bergabung bersama kami di:
Kongres Operata Yogyakarta (KOY)
Perum Wirosaban barat No. 22
Sorosutan Umbul Harjo Yogyakarta
Telp: 0274 - 9126105

19 April 2010



PRT Layak Dapat Jamsostek
Minggu, 18 April 2010 13:10:00

BANTUL (KRjogja.com) - Para pembantu rumah tangga (PRT) bayak yang belum memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) karena masih belum mengakui keberadaanya sebagai pekerja normal, padahal layak mendapatkan jaminan kesehatan itu.

Karena itu, perlu payung hukum tegas yang memasukkan PRT sebagai di dalam bagian sektor pekerja. Selain itu, perlu ada pula aturan yang mewajibkan setiap majikan untuk mendaftarkan dan membayarkan jamsostek PRT yang bekerja untuknya.

Kabid Pemasaran Jamsostek Yogyakarta, Hasan Fahmi di sela acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, Minggu (18/4) yang diadakan KOY di Balai Desa
Soragan, Bantul, Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh ratusan PRT dari Kota Yogya, Sleman, dan Bantul.

"Saat ini, yang pekerja sektor informal yang terdaftar dalam jamsostek Yogyakarta ada 4500 orang, namun yang PRT baru 40 orang. Ke depan harus ada dasar hukum yang jelas, karena PRT kan pekerja juga, menghasilkan uang," tegasnya.

Hasan menjelaskan beberapa PRT tidak tinggal di rumah majikannya sehingga tetap beresiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah resiko kecelakaan tetap ada, seperti tersiram air panas.

"Untuk itu, PRT juga harus punya jamsostek, masuknya bisa program kecelakaan kerja dan kematian. Biayanya cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan," paparnya.

Fahmi menambahkan Jamsostek terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan PRT agar mengikutka dan membayari epkerjanya dalam jamsostek. Hal serupa dilakukannya di sektor pekerja informal lain, semisal pedagang kaki lima, tukang ojek dan nelayan.

"Kami bekerja sama dengan paguyuban pekerja sektor informal, agar dapat menarik anggotanya untuk bergabung dan mengumpulkan iurannya. Untuk PRT, kami bekerjasama dengan KOY (Kongres Operata Yogyakarta). Kami berharap Jamsostek memang untuk melindungi setiap orang yang mempunyai penghasilan," pungkasnya. (Den)

Pekerja Rumah Tangga Perlu Ikut Jamsostek
Ekonomi / Senin, 19 April 2010 08:06 WIB
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Pekerja rumah tangga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja, karena dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja, kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi.

"Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas," katanya di Yogyakarta, Minggu (18/4).

Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan.

Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.

"Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan jamsostek untuk pekerja rumah tangganya," katanya.

Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang.

"Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang," katanya.

Oleh karena itu, Jamsostek Yogyakarta terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga. Para majikan diharapkan mendaftarkan dan membiayai pekerja rumah tangganya dalam jamsostek.

"Untuk melakukan sosialisasi tersebut kami bekerja sama dengan Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini mengatakan pekerjaan yang dilakukan pekerja rumah tangga rentan mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan mereka.

"Saat ini baru ada sekitar 40 dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Oleh karena itu, kami mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut jamsostek, dan majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan jamsostek," katanya. (Ant/ICH)


Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta Bisa Dapat Jamsostek
Minggu, 18 April 2010 | 15:20 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Meskipun belum ada aturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur pekerja rumah tangga (PRT) sebagai pekerja, namun PRT di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).
Kecenderungan PRT saat ini yang tidak tinggal di rumah pemilik kerja atau majikannya membuat PRT termasuk berisiko mengalami kecelakaan saat berangkat ke tempat kerja maupun pulang dari kerja.

“Sifatnya sukarela, karena memang belum ada aturannya,” kata Kepala Bidang Pemasaran Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi dalam sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Bagi PRT dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan di Balai Desa Soragan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Minggu (18/4).

Hasan mengakui, belum adanya payung hukum terhadap PRT menjadi kendala di mana Jamsostek yang ada hanya diberikan kepada pekerja formal maupun informal. Pekerja formal ditandai dengan hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja (pengusaha). Sedangkan pekerja informal merupakan pekerja mandiri.
Menurut Hasan, PRT tidak masuk keduanya, meskipun punya hubungan kerja dengan pemilik kerja, tapi tidak ada aturannya. “Semestinya yang mengurus Jamsostek itu majikannya, karena dia yang bertanggung jawab atas PRT,” kata Hasan.

Besaran angsuran Jamsostek Rp 10.400 tiap bulannya. Jamsostek bagi PRT tersebut meliputi jaminan kecelakaan di lokasi kerja maupun saat berangkat dan pulang kerja, serta jaminan kematian. Klaim diberikan jika PRT telah membayar angsuran, meskipun angsuran pertama.
Lantaran belum ada aturannya, maka prosedur PRT untuk mendapatkan Jamkesos bisa langsung mendaftar ke Jamsostek setempat secara perorangan maupun melalui Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) yang membawahi organisasi pekerja rumah tangga (Operata) lainnya di Yogyakarta tanpa dipungut biaya.

Hanya saja, menurut Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini, dari 250 PRT yang tergabung dalam KOY, hanya 70 PRT saja yang telah mengurus Jamsostek. Mayoritas alasannya karena keberatan dengan nilai angsuran yang harus dibayarkan tiap bulannya, yakni Rp 10.400.
Sri Murtini pun berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT maupun Peraturan Gubernur DI Yogyakarta tentang PRT yang tengah digodok bisa segera disahkan.

“Penghasilan per bulan saya hanya Rp 350 ribu. Itu pun harus buat bayar sekolah anak, apalagi di swasta. Saya usul Rp 5.000 saja,” kata Koordinator Operata Gambiran Kota Yogyakarta Eko Handini kepada Tempo.

Hasan mengakui, besaran nilai nominal angsuran tersebut acapkali menjadi alasan keengganan PRT maupun pekerja informal lain untuk mengurus Jamsostek. Padahal, lanjut Hasan, dengan mengurus Jamsostek akan membuat pekerja tidak tergantung kepada orang lain saat mengalami musibah, baik kondisi pekerja yang akhirnya cacat atau meninggal dunia.

“Coba, berapa harga lipstik yang harus dibeli dibandingkan membayar angsuran Jamsostek per bulannya,” kata Hasan.

Sementara itu, perlindungan Jamsostek untuk tenaga kerja di luar hubungan kerja atau sektor informal telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 24 Taun 2006. Hingga saat ini, 200 nelayan di Yogyakarta dan pedagang kaki lima Malioboro telah mendaftar Jamsostek.
PITO AGUSTIN RUDIANA

SEPUTAR INDONESIA

PRT Perlu Mendapat Jamsostek

Sunday, 18 April 2010
BANTUL(SI) - Baru sebagian kecil Pekerja Rumah Tangga (PRT) di DIY yang terdaftar dalam Jaminan Sosial dan Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain karena kurangnya jaminan yang diberikan majikan mereka, pekerjaan PRT sendiri hingga saat ini belum memiliki landasan hukum yang jelas.
Kepala Bidang Pemasaran Jamsostek DIY Hasan Fahmi kemarin mengatakan, pekerjaan PRT sulit digolongkan menjadi pekerjaan formal atau informal. Hal ini disebabkan tidak adanya payung hukum yang jelas tentang pekerjaan PRT.Namun berdasarkan UU No 24 tahun 2006 tentang Jamsostek, PRT bisa tergolong dalam sektor informal.

”Karena tidak memiliki ketentuan hukum, maka kami mencoba memasukkan PRT ke sektor informal, walaupun sebenarnya juga tidak bisa dibilang seperti itu karena ada pihak yang memberikan kerja dan ada pihak yang membutuhkan kerja,” jelasnya di sela acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, di Balai Desa Soragan, Kasihan, Bantul,kemarin.

Dia menambahkan, pekerjaan PRT bukan tanpa risiko. Selain kecelakaan saat bekerja, PRT yang kebanyakan tidak tinggal di rumah majikan tersebut bisa saja mengalami kecelakaan saat berangkat maupun pulang bekerja. Dan di kondisi inilah peran Jamsostek dibutuhkan. ”Pemberi kerja atau majikan seharusnya memberikan tunjangan Jamsostek bagi PRT masingmasing.

Program yang bisa diikuti PRT yaitu jaminan terhadap kecelakaan dan kematian yang hanya perlu membayar Rp10.400 perbulan,” paparnya. Menurutnya, harga yang harus dibayar sudah terbilang murah.Apalagi ini menyangkut keselamatan para PRT itu sendiri. Dia berharap program bagi PRT ini bisa ada dasar hukum yang jelas sehingga betulbetul menjamin para PRT sendiri.

Sekretaris Jendral Kongres Operata Yogyakarta (KOY) Sri Murtini menuturkan, di Yogyakarta sendiri, jumlah PRT perempuan cukup besar.Menurut data Susenas 2002 ada sekitar 36.000 orang PRT. Sebagian besar jumlah PRT ini belum mendapatkan akses terhadap jaminan kesehatan sebagai pekerja, ini dikarenakan belum adanya peraturan yang menjamin hak mereka sebagai pekerja. (ratih keswara/ priyo setyawan)

Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Pekerja Rumah Tangga dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan



Pekerja Rumah Tangga Perlu Ikut Jamsostek; Kabar Baik Hari Ini.....!
Melindungi Hak-Hak Mereka
Pasti Anda sudah banyak terbantu dari keahlian dan kerelaan mereka mengerjakan pekerjaan yang sulit Anda kerjakan sendiri. Saat ada perlindungan Jamsostek akan lebih menjamin hak-hak mereka sebagai profesional, Anda Setuju....?

Yogyakarta, Kabarindo- Pekerja rumah tangga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja.

Itu dikarenakan dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja, kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi.

"Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas," katanya di Yogyakarta, Minggu (18/4) seperti dikutip dari Portal MI.

Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp10.400 per bulan.

Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.

"Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan jamsostek untuk pekerja rumah tangganya," katanya.

Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang.

"Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang," katanya.

Oleh karena itu, Jamsostek Yogyakarta terus melakukan sosialisasi kepada para majikan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga. Para majikan diharapkan mendaftarkan dan membiayai pekerja rumah tangganya dalam jamsostek.

"Untuk melakukan sosialisasi tersebut kami bekerja sama dengan Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KOY Sri Murtini mengatakan pekerjaan yang dilakukan pekerja rumah tangga rentan mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan mereka.

"Saat ini baru ada sekitar 40 dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Oleh karena itu, kami mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut jamsostek, dan majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan jamsostek," katanya.


Ayo Kita Laksanakan.....!

Harian Joglo Semar

PRT di Jogja Wajib Jamsostek
Senin, 19/04/2010 09:00 WIB - ant

JOGJA—Pekerja rumah tangga (PRT) di wilayah Yogyakarta wajib memiliki jaminan sosial tenaga kerja, karena dalam menjalankan pekerjaannya juga berisiko mengalami kecelakaan kerja.
”Beberapa pekerja rumah tangga tidak tinggal di rumah majikannya, sehingga berisiko mengalami kecelakaan di jalan. Bahkan, di rumah majikan risiko kecelakaan kerja tetap ada, seperti tersiram air panas,” kata Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Yogyakarta Hasan Fahmi, Minggu (18/4).
Murah
Untuk itu, menurut dia pada sarasehan perlindungan kesehatan bagi pekerja rumah tangga, mereka juga perlu memiliki jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), terutama program kecelakaan kerja dan kematian. Biaya program itu cukup murah, hanya Rp 10.400 per bulan.
Ia mengatakan banyak pekerja rumah tangga yang belum memiliki Jamsostek karena masih belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. Padahal, mereka layak mendapatkan jaminan tersebut karena pekerjaannya juga berisiko.
”Oleh karena itu, perlu payung hukum yang memasukkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Selain itu, juga perlu ada aturan yang mewajibkan setiap majikan mendaftarkan dan membayarkan Jamsostek untuk pekerja rumah tangganya.”
Menurut dia, ke depan harus ada dasar hukum yang jelas yang mengatur pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Hal itu perlu dilakukan, karena pekerja rumah tangga juga menghasilkan uang. ”Saat ini pekerja di sektor informal yang terdaftar dalam Jamsostek Yogyakarta berjumlah 4.500 orang, tetapi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga hanya 40 orang,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kongres Operata Yogyakarta (KOY) sebagai organisasi pekerja rumah tangga, Sri Murtini mengajak pekerja rumah tangga di Yogyakarta ikut Jamsostek. ”Majikan diharapkan juga sadar terhadap kesehatan pekerja rumah tangga dengan cara membayarkan Jamsostek,” katanya. (ant)

18 April 2010

Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Pekerja Rumah Tangga dalam Sistem Asuransi Ketenagakerjaan

PRESS RELEASE

SARASEHAN
PERLINDUNGAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI
BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM SISTEM ASURANSI KETENAGAKERJAAN

Hidup Perempuan !!!
Hidup Pekerja Rumah Tangga !!!
Setiap tahun angka kematian ibu di Indonesia sangat tinggi sekitar 20.000 jiwa. Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan mengalami komplikasi saat hamil dan ketika melahirkan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik Indonesia memiliki angka rata-rata tertinggi. Dari 100.000 kelahiran hidup terdapat sebanyak 300-400 perempuan meninggal di Indonesia. Bahkan dibeberapa propinsi seperti Maluku, NTT dan Papua angkanya lebih tinggi sekitar 500-800 angka kematian.
Masalah kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi perempuan yang masih rendah juga menjadi salah satu sebab tidak terpantaunya kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu akses Informasi dan akses pemeriksaan kesehatan pada masyarakat miskin masih menjadi barang mahal yang sulit dijangkau, dan hal ini semakin menambah peliknya persoalan perempuan di Indonesia. Angka kematian ibu dapat diturunkan apabila perempuan di seluruh Indonesia mendapatkan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan yang berkualitas. Namun, masih banyak hambatan termasuk diskriminasi pada undang-undang dan praktek untuk memperoleh akses kepada informasi dan layanan kesehatan hak-hak reproduksi seksual, kesehatan reproduksi ibu, terutama perempuan dari komunitas miskin di Indonesia.
Pekerja rumah tangga di Indonesia yang sebagian besar adalah perempuan juga masih mengalami hal yang sama. Sulitnya mengakses informasi dan layanan kesehatan reproduksi membuat kesadaran mereka akan mendapatkan hak-hak reproduskinya masih sangat minim. Sedangkan dari segi bentuk pekerjaan yang mereka lakoni sangat rentan untuk mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan reproduksi mereka.
Di Yogyakarta, jumlah PRT perempuan cukup besar menurut data Susenas 2002 sekitar 36 ribuan orang. Dari sebagian besar jumlah PRT perempuan ini belum mendapatkan akses terhadap Jaminan kesehatan sebagai pekerja, ini dikarenakan belum adanya peraturan maupun perundang-undangan yang menjamin hak mereka sebagai pekerja meskipun perjuangan gerakan PRT di Yogyakarta telah dimulai sejak satu dasawarsa yang lalu. Maka dari itu, kami dari Kongres Operata Yogyakarta berinisiatif untuk bekerjasama dengan Jamsostek untuk memperolah jaminan kesehatan bagi 300 orang anggota kami yang sebagian besar adalah perempuan, karena kami menganggap masalah minimnya akses layanan kesehatan reproduksi adalah masalah yang harus segera diselesaikan dan ini bukan hanya masalah bagi PRT tetapi juga masalah bagi perempuan di Indonesia. Dan harapan kami, kelak terdapat peraturan atau perlindungan yang mengakui PRT sebagai pekerja sehingga kami sebagai PRT mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah sebagaimana yang didapatkan oleh pekerja lainnya. Sekian pernyataan sikap dari kami, semoga Jaminan Kesehatan bagi PRT dapat segera terwujud.

Yogyakarta, 18 April 2010

Sri Murtini
Sekretaris Jendral
PRT Butuh Pemahaman Kespro
Minggu, 18 April 2010 12:52:00

BANTUL (KRjogja.com) - Para pembantu rumah tangga (PRT) juga perlu memperhatikan kesehatan reproduksi (kespro) karena tingginya angka kematian ibu saat hamil dan melahirkan yang mencapai 20.000 jiwa.

Demikian diungkapkan Sekjen Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta Sri Murtini menjelaskan dalam acara Sarasehan Perlindungan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi PRT, Minggu (18/4) yang diadakan KOY di Balai Desa Soragan, Bantul, Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh ratusan PRT dari Kota Yogya, Sleman, dan Bantul

"Di Yogya, beberapa tahun lalu ada satu PRT yang meninggal karena pendarahan akibat keguguran. Belum lagi ada beberapa yang lain, meski tidak sampai meninggal. Ini membuktikan masih banyak PRT yang belum memahami masalah kesehatan seksual dan reproduksi," ujarnya.

Menurut Sri Murtani akses Informasi dan akses pemeriksaan kesehatan pada masyarakat miskin masih menjadi barang mahal dan sulit dijangkau. Hambatan lainny adalah diskriminasi undang-undang dan praktek untuk memperoleh akses kepada informasi serta
layanan kesehatan hak reproduksi seksual termasuk kesehatan reproduksi ibu, terutama perempuan dari komunitas miskin di Indonesia.

"Dari bentuk pekerjaan, yang dilakukan PRT sangat rentan untuk mengalami kecelakaan kerja maupun kekerasan yang dapat menimbulkan efek langsung pada kesehatan reproduksi mereka. Untuk itu, kami mengajak PRT di Yogyakarta untuk secara sadar ikut jamsostek," katanya.

Dia mengakui saat ini baru ada sekitar 40 PRT dari 250 anggota KOY yang ikut jamsostek. Dan berharap, majikan juga sadar akan kesehatan reproduksi PRT dengan cara membayarkan jamsostek," tandasnya. (Den)

12 April 2010

Launching Sekolah Perempuan di Gunung Kidul

Solo Pos
Edisi : Sabtu, 10 April 2010 , Hal.3
Tinggi, kejahatan seksual di Gunungkidul

Gunungkidul (Espos) Kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Gunungkidul menempati urutan teratas dibandingkan kabupaten lainnya di DIY.

Tercatat 300 kasus yang ditangani Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) sejak 2008. Perempuan di daerah sangat rentan menjadi korban karena kurangnya pemahaman dan akses informasi yang masih minim. Bagian pengorganisasian sending area wilayah Gunungkidul Rumpun RTND Gunungkidul, Lukman Hakim, mengatakan selain kurang informasi, sebagian besar perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di wilayah Yogyakarta. Profesi ini banyak diminati karena diyakini tidak memerlukan pendidikan dan mudah dilakukan meski perlindungan terhadap profesi ini kurang. Banyak ditemukan PRT diberikan jam kerja yang panjang, upah dan fasilitas yang minim tiada jaminan kesehatan. Lebih parahnya lagi perempuan banyak menjadi korban kejahatan seksual, pernikahan dini dan perceraian. Tercatat jumlah kekerasan seksual sebanyak 300 kasus pada 2007 dan 959 pada 2008. “Perempuan yang selalu menjadi korban tersebut karena kurangnya informasi pendidikan dan kesehatan tentang gender,” kata Lukmat di sela-sela launching sekolah perempuan yang diprakarsai Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) dan RTND di balai Dusun Klopoloro I Giripanggung Tepus, Jumat (9/4). Sekjen KOY, Tri Murtini menambahkan, daerah yang sulit di akses informasi teknologi bahkan transportasi diperlukan sekolah bagi perempuan. Dengan tujuan bisa mengantarkan setiap orang untuk memiliki kontrol otoritas tubuh mereka dalam memilih perawatan bagi dirinya sendiri. Pembahasan yang ada pada sekolah perempuan terkait gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi dan seksual lainnya. Sekolah yang sudah berdiri sejak Agustus 2009 tersebut diharapkan bisa memfasilitasi ibu-ibu dan remaja putri di daerah terpencil untuk membangun peradaban pendidikan. Selain kekerasan, isu pertanian juga masih mendominasi bahwa perempuan selama ini masih menjadi buruh dalam bercocok tanam. Lukman menyatakan terkait tingginya PRT dari Gunungkidul yang jumlahnya mencapai 6.000 orang, pemerintah melihat dengan sebelah mata dengan menekan jumlah profesi ini. Pemerintah berorientasi bahwa pekerja PRT adalah warga miskin padahal kontribusi kepada keluarga cukup besar dari hasil upah yang diterima. Di sisi lain seolah-olah PRT menjadi sapi perah di mana uang hasil kiriman untuk foya-foya keluarga. Maka dari itu perlu pendekatan-pendekatan kepada keluarga yang bersangkutan untuk bisa memahami uang yang dikirimkan disesuaikan kebutuhan keluarga.




09 April 2010

Press Release

Launching Sekolah Perempuan Program Pendidikan Pemahaman Gender, Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Pemiskinan sudah identik dengan kondisi kehidupan masyarakat di Gunung Kidul, kondisi geografis yang berupa pegunungan kapur dan sedikitnya persediaan air menjadikan Kabupaten ini sering mengalami kekeringan ketika tiba musim kemarau. Tandusnya alam di Gunung Kidul menjadikan masyarakat tidak bisa sepenuhnya menggantungkan penghidupan pada pertanian, perkebunan dan perternakan. Industri yang dibangun Pemerintah di Gunung Kidul belum bisa menyerap banyak tenaga kerja sehingga banyak warga Gunung Kidul baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan migrasi ke Kota-kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Sektor pekerjaan yang digeluti oleh sebagian besar penduduk perempuan Gunung Kidul yang merantau adalah profesi Pekerja Rumah Tangga dan sebagian besar bekerja di wilayah Yogyakarta. Karena profesi sebagai PRT diyakini tidak memerlukan pendidikan dan mudah dilakukan. Meski mengingat betapa minimnya perlindungan terhadap profesi ini. Jam kerja yang panjang, upah dan fasilitas yang minim, tiadanya jaminan kesehatan memaksa mereka untuk bekerja sebagai PRT. Di Yogyakarta sendiri ada kurang lebih 39 ribu orang yang berprofesi sebagai PRT.

Dari data kelompok PRT dampingan Rumpun Tjoet Njak Dien di kota Yogya yang berasal dari gunung Kidul diperoleh informasi bahwa begitu besar angka kejahatan seksual, pernikahan dini dan tingginya angka perceraian yang terjadi. Kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Gunung kidul menempati urutan teratas dibandingkan kabupaten lainnya di Yogyakarta yaitu kurang lebih 300 kasus selama tahun 2008. sedangkan angka perceraian, Kabupaten Gunung Kidul berdasarkan data dari Pengadilan agama Wonosari, juga menempati tempat teratas dibandingkan kabupaten lainnya yaitu sebesar 959 kasus pada tahun 2008, hingga awal Desember 2009 sudah masuk 1071 perkara.

Tingginya kejahatan seksual, pernikahan dini, angka perceraian serta berbagai penyakit menular seksual merupakan akibat dari kurangnya akses informasi, akses pendidikan dan akses kesehatan tentang gender, kesehatan seksual dan reproduksi masyarakat gunung kidul dan PRT khususnya perempuan sebagai pihak yang terkena dampak secara langsung. Mengingat pula kawasan gunung kidul sebagian besar sebagai daerah yang dikatagorikan terpencil dari akses transportasi dan komunikasi yang berakibat pula pada akses kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, dan informasi). Hal inilah yang mendorong Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) bekerjasama dengan RTND dan para perempuan muda maupun dewasa di Kecamatan Tepus untuk mendirikan Sekolah Perempuan.

Sekolah ini di bangun berdasarkan pada apa yang menjadi kebutuhan komunitas, potensi yang sudah ada dalam komunitas dan dilakukan bersama oleh komunitas. Terutama dalam kaitannya membuka akses informasi dan menanamkan pemahaman terhadap Hak Seksual dan Reproduksi perempuan. Sekolah perempuan ini mencoba membongkar paradigma tentang sekolah yang selama ini selalu diidentikkan dengan gedung, berseragam, kurikulum, guru, siswa dan bahkan SPP.


Sekolah Perempuan ini diharapkan bisa mengantarkan setiap orang untuk memiliki kontrol dan otoritas tubuh mereka dalam memilih perawatan bagi dirinya sendiri. Pencapaian tersebut menjadi titik pergerakkan menciptakan kesetaraan gender. Dengan demikian perempuan sudah memiliki bekal pemahaman harus bagaimana bersikap dan merespon situasi yang akan menyudutkannya.

Hal yang menjadi pembahasan dalam Sekolah Perempuan adalah tentang Gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan reproduksi, tabu dan mitos, pendidikan seks, anatomi dan fisiologi organ seksual, kontrasepsi dan alat-alat kontrasepsi, penyakit dan infeksi menular seksual, kehamilan dan menyusui, juga mengenai tentang otoritas tubuh. Harapannya kedepan, dengan adanya Sekolah Perempuan ini dapat menjadi suatu gerakan sosial yang dinamis dalam pemahaman gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi pada masyarakat Indonesia dan ini menjadi cita-cita besar KOY dalam memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan.

Yogyakarta, 9 April 2010
Hormat kami,




Sri Murtini
Sekjend KOY